Posisi menentukan prestasi Dan Prestasi menetukan Posisi

Jumat, 28 Oktober 2011

Kantor BI Diduduki Demonstran



Demo Bank Indonesia Pontianak
SYAMSUL ARIFIN
Belasan massa dari kelompok yang mengklaim sebagai ahli waris tanah di lokasi Bank Indonesia mendirikan tenda dan membentangkan poster tuntutan, Senin (24/10)
Belum ada kepastian hukum atas kasus yang membelit areal gedung Bank Indonesia. Kisruh kepemilikan berujung demonstrasi. Mampukah sejumlah massa tak beranjak hingga ada keputusan?
PONTIANAK – Bangunan megah kantor Bank Indonesia (BI) Cabang Pontianak di atas tanah hook simpang Jalan Abdurahman Saleh-Jalan Ahmad Yani Pontianak masih tersandung sengketa tanah. Ahli waris bersama sanak keluarga dan beberapa tokoh masyarakat menduduki gedung baru tersebut, Senin (24/10) sejak pukul 06.00.
Mereka membuat tenda kecil di pintu masuk kantor BI tersebut sebagai simbol protes. Sejumlah spanduk, dan poster juga dipajang. “Ini sebagai bentuk protes. Kami bermalam di sini sampai tuntutan kami dipenuhi pihak BI,” kata Zahara binti Talibe, anak kandung dari Talibe bin Pimma bersama kakak kandungnya Hapsa A Thalib binti Talibe ditemui Equator di tenda kecil berwarna biru yang berada di depan kantor itu.
Dia mengaku, tidak mengetahui tanah tersebut sudah dijual. Begitu juga sertifikat tanah yang dibuat BPN Kota Pontianak. “Kami sebagai ahli waris meminta agar hak-hak kami dikembalikan,” pinta Zahara.
Koordinator Lapangan Ahli Waris, Agustinus, mengatakan tanah yang dibangun gedung BI itu masih sengketa yang di dalamnya terdapat perbuatan melawan hukum. Tanah tersebut dijual oleh Asmad yang diganti namanya menjadi Djiden bin Pak Salam oleh istri dan anak-anaknya kepada orang lain. Padahal tanah tersebut adalah milik Talibe bin Pimma.
Dia menerangkan, pada 9 Januari 1949 Talibe bin Pimma membeli tanah dari Wan Bakar bin Wan Abdullah dengan ukuran 200 depa tangan x 25 depa tangan atau 360x45 meter (berdasarkan surat asli di atas segel tahun 1948).
Pada 1949, sambung Agustinus, Talibe membangun rumah tinggal di atas tanah yang dibelinya berdiri persis di tanah yang ada bangunan gereja sekarang ini. Perkawinan Talibe dengan Halidjah binti Laupe dikaruniai lima orang anak. Masing-masing Saleh binti Talibe, Mak Resak binti Talibe, Hapsa A Thalib binti Talibe, dan Adbul Rasid binti Talibe.
Dia menceritakan, Talibe pernah menumpangkan seorang bernama Asmad yang bukan saudaranya untuk membangun pondok tempat tinggalnya bersama istri serta anak-anaknya. Asmad kemudian diubah namanya menjadi Djiden bin Pak Salam oleh anak-anaknya. Ia meninggal pada Juni 1963, sehingga istri dan anak-anaknya meninggalkan tanah Talibe yang ditumpanginya.
“Sedangkan Talibe bin Pimma meninggal dunia pada tanggal 20 Desember 1963 dan dimakamkan di atas tanahnya yang sekarang menjadi wakaf keluarga,” jelas Agustinus panjang lebar.
Selanjutnya, kata dia, pada 1956, umur anak Talibe bernama Haspa A Thalib bin Talibe berumur 18 tahun, Zahara berumur 2 tahun, dan Abdul Rasid berumur 1 tahun. Pada tahun 1987 istri dan anak-anaknya masih berdiam di rumah yang ada di atas tanahnya.
Istri Talibe bin Pimma meninggal dunia pada tahun 1987 dan dimakamkan pada wakaf yang ada di atas tanah tersebut, begitu juga dengan anak-anaknya yaitu Saleh, Mak Resak, dan Abdul Rasid. Kemudian, pada 1987 tepatnya bulan Juni rumah yang dibangun Talibe di atas tanahnya roboh.
“Semasa hidup Talibe, istri Talibe, dan anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah menjual, mengalihkan, dan menjaminkan tanahnya kepada Asmad alias Djiden bin Pak Salam maupun kepada orang lain,” tegas Agustinus.
Tanah itu, dijelaskannya, telah berkurang luasnya dikarenakan terkena pembangunan Jalan Ahmad Yani, Jalan Abdurahman Saleh, dan Sepakat I. Dan tanah itu pun terbagi menjadi 2 bidang karena dipotong Jalan Abdurahman Saleh yaitu bagian utara kurang lebih seluas 11.200 meter.
Tanpa pengetahuan ahli waris, kata Agustinus, tanah tersebut telah dimohonkan haknya oleh ahli waris Djiden bin Pak Salam. Awalnya ahli waris tidak mengetahui siapa Djiden itu, namun setelah sidang di PTUN Pontianak, para penggugat mengetahui bahwa Djiden adalah Asmad yang namanya telah diubah oleh sang ahli warisnya.
Berdasarkan surat jual beli No. 006/L-56/K2.B.B tanggal 2 Februari 1956 yang tidak sah dan tidak benar. Oleh istri Asmad diterbitkan hak tanggal 22 Maret 1978 yang telah meninggal tahun 1963 yaitu Djiden bin Pak Salam yang memiliki nama aslinya Asmad.
Tanah tersebut kemudian diterbitkan sertifikat hak milik No. 429/1978 tanggal 22 Maret 1978 dengan gambar situasi No. 48/ Bangka Belitung tanggal 1 meter 1978 atas nama orang yang telah meninggal tahun 1963 yaitu Djiden bin Pak salam. “Aneh orang yang sudah mati kok bisa jual beli tanah, apalagi bisa mengajukan ke BPN,” tanya Agustinus.
Karena itu, dia mengatakan, sertifikat hak milik No. 429/Bangka Belitung yang tidak ada gambar ukurnya, dengan surat ukur No. 48/1978 atas nama Almarhum Djiden bin Pak Salam beserta pemecahannya cacat hukum.
“Penerbitan sertifikat hak milik No. 10083/Bangka Belitung dengan gambar situasi No. 3893/1992 tanggal 3 September 1992 seluas 1.600 meter persegi cacat hukum dan tidak sah,” tuntas Agustinus.
Hingga tadi malam, spanduk dan kertas karton bertuliskan kecaman terhadap BI Pontianak masih terpajang. Selain itu, macam-macam aksi juga dilakukan. Pagi hari sebelum berdemo, para demonstran mengadakan ritual adat Bugis Tepung Tawar dan upacara Pamabang dari suku Dayak.
“Ritual ini agar demostrasi berjalan lancar dan supaya tidak ada provokator yang masuk,” ujar Agus, koordinator aksi.
Untuk tujuan ini juga, setiap demonstran tangannya dicat berwarna merah. Para pengunjuk rasa juga sempat mampir menuju DPRD Kota Pontianak, Jalan Sultan Abdurahman buat menyampaikan aspirasi. Di sana mereka bertemu dengan Ketua DPRD Hartono Azas, Wakil Ketua Eka Kurniawan, dan pimpinan lainnya.
Selepas bertemu para pimpinan DPRD Kota Pontianak para demonstran kembali ke BI. Mereka langsung memasang tenda berukuran sedang di depan pagar masuk pintu BI Pontianak. Di situ juga tersedia tikar dan kompor, serta alat dapur lainnya.
“Kami berniat menginap di sini sampai pimpinan BI Pontianak memberi penjelasan dan mengakui bahwa tanah ini milik keluarga kami,” kata Agus.
Perihal sengketa tanah tersebut, Agus menjelaskan sebenarnya bukan milik BI yang menyerobot, melainkan bangunan-bangunan di sekitarnya pula. “Tapi kita yakin kalau BI mau mengakui, yang lain pasti mengikuti. Ini adalah permainan dari BPN, banyak pemalsuan dalam suratnya,” ucapnya. (jul/sul)

0 komentar:

Posting Komentar