Posisi menentukan prestasi Dan Prestasi menetukan Posisi

Senin, 25 Juni 2012

Asuhan Kepera


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Benjolan pada seseorang tidak selalu berkonotasi jelek., tetapi jika benjolan itu terdapat pada bagian tubuh yang tak semestinya, tentu harus diwaspadai, jangan-jangan itu merupakan pertanda awal terjadinya tumor tulang. Ada tiga macam tumor tulang yaitu yang bersifat lunak, ganas dan yang memiliki lesi di tulang (berlubangnya struktur karena jaringan akibat cedera atau penyakit). Selain itu ada yang bersifat primer dan skunder. Pada tumor tulang sekunder misalnya, seseorang terkena tumor payudara, kemudian menjalar ke tulang dan selanjutnya menggerogoti tulang tersebut. Kanker tulang ini merupakan kelompok tumor tulang yang ganas.
Keganasan tulang dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu tumor benigna dan maligna. Klasifikasi yang banyak digunakan untuk kedua jenis tumor ini adalah sebagai berikut :

1. Tumor Tulang BenignaKondrogenik: Osteokondroma, Kondroma Osteogenik : Osteoid osteoma, Osteobalstoma, Tumor sel Giant

2. Tumor Tulang Maligna Kondrogenik : Kondrosarkoma Osteogenik : Osteosarkoma Fibrogenik : Fibrosarkoma Tidak jelas asalnya : Sarcoma Ewing

Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah Orthopedy Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat 455 kasus tumor tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128 kasus tumor tulang jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan tumor ganas yang sering didapati yakni 22% dari seluruh jenis tumor tulang dan 31 % dari seluruh tumor tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90% kasus datang dalam stadium lanjut. Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker tulang kerap datang dalam keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit. Jika tidak segera ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara penyembuhannya sangat menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan radik ikal diikuti kemotherapy
B.     Tujuan Penulisan
1.             Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan dengan tumor tulang secara komprehensif di ruang Seruni RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
2.          Tujuan khusus
a.  Mampu melaksanakan pengkajian menyeluruh pada pasien tumor tulang
b. Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada pasien tumor tulang
c. Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi masalah keperawatan yang timbul pada pasien tumor tulang
d. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien dengan tumor tulang
C.     Ruang Lingkup Penulisan
Dalam makalah, penulis ini hanya membahas tentang Carsinoma Tulang dan Fraktur; yang meliputi, pengertian penyakit, patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan serta asuhan keperawatannya.
D.    Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami mengunakan metode studi kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku dan sumber-sumber lainnya untuk mendapatkan dasar-dasar yang menjadi landasan dalam penulisan makalah ini.
E.     Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu :
BAB I          : Berupa bab pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan
                      Penulisan, Metode Penulisan, Ruang Lingkup dan Sistematika Penulisan.
BAB II        : Berupa bab isi dan penjelasan materi, yang terdiri dari Masalah Fraktur
BAB III       : Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan Keperawatan.
BAB IV     : Berupa bab penutup, berisi Kesimpulan, dan Saran.
BAB II
CARSINOMA TULANG
A.     DEFINISI
Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-selnya tidak pernah menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedangkan tumor tulang sekunder adalah anak sebar tumor ganas organ non tulang yang bermetastasis ke tulang.
Dengan istilah lain yang sering digunakan “Tumor Tulang”, yaitu pertumbuhan abnormal pada tulang yang bisa jinak atau ganas.

B.     ETIOLOGI
Penyebab pasti terjadinya tumor tulang tidak diketahui. Akhir-akhir ini, penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suatu zat dalam tubuh yaitu C-Fos dapat meningkatkan kejadian tumor tulang.
·        Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi
·        Keturunan
·        Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat pajanan radiasi ), (Smeltzer. 2001).
C.     KLASIFIKASI
Klasifikasi neoplasma tulang berdasarkan asal sel.

1. Primer

a. Tumor yang membentuk tulang (Osteogenik)

Jinak : - Osteoid Osteoma

Ganas:
 - Osteosarkoma

- Osteoblastoma

- Parosteal Osteosarkoma, Osteoma

b. Tumor yang membentuk tulang rawan (Kondrogenik)

Jinak : - Kondroblastoma

Ganas :
 - Kondrosarkoma

- Kondromiksoid Fibroma

- Enkondroma

- Osteokondroma

c. Tumor jaringan ikat (Fibrogenik)

Jinak : - Non Ossifying Fibroma

Ganas : - Fibrosarkoma

d. Tumor sumsum tulang (Myelogenik)

Ganas :
- Multiple Myeloma

-Sarkoma Ewing

-Sarkoma Sel Retikulum

e. Tumor lain-lain

Jinak : - Giant cell tumor

Ganas :
 - Adamantinoma

- Kordoma

2. Sekunder/Metastatik

3. Neoplasma Simulating Lesions

- Simple bone cyst

- Fibrous dysplasia

- Eosinophilic granuloma

- Brown tumor/hyperparathyroidism

Klasifikasi menurut TNM.

• T. Tumor induk

• TX tumor tidak dapat dicapai

• T0 tidak ditemukan tumor primer

• T1 tumor terbatas dalam periost

• T2 tumor menembus periost

• T3 tumor masuk dalam organ atau struktur sekitar tulang

• N Kelenjar limf regional

• N0 tidak ditemukan tumor di kelenjar limfe

• N1 tumor di kelenjar limf regional

• M. Metastasis jauh

• M1 tidak ditemukan metastasis jauh

• M2 ditemukan metastasis jauh

D.    PATOFISIOLOGI
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru dekat tempat lesi terjadi, sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.





E.     TANDA DAN GEJALA
1.                  Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas penyakit)
2. Fraktur patologik

3. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas
(Gale, 1999)
4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran vena
5. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan menurun dan malaise.

F.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan penunjang diagnosis seperti CT, mielogram, asteriografi, MRI, biopsi, dan pemeriksaan biokimia darah dan urine. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up adanya stasis pada paru-paru. Fosfatase alkali biasanya meningkat pada sarkoma osteogenik. Hiperkalsemia terjadi pada kanker tulang metastasis dari payudara, paru, dan ginjal. Gejala hiperkalsemia meliputi kelemahan otot, keletihan, anoreksia, mual, muntah, poliuria, kejang dan koma. Hiperkalsemia harus diidentifikasi dan ditangani segera. Biopsi bedah dilakukan untuk identifikasi histologik. Biopsi harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran dan kekambuhan yang terjadi setelah eksesi tumor., (Rasjad, 2003).
G.    PENATALAKSANAAN
1.      Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi.

Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin (doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi.Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian cairan normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obat-obatan seperti fosfat, mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid, (Gale, 1999).
2.      Tindakan keperawatan
a.       Manajemen nyeri
Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian analgetika ).

b.  Mengajarkan mekanisme koping yang efektif
Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan berikan dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke ahli psikologi atau rohaniawan.

c. Memberikan nutrisi yang adekuat
Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek samping kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang adekuat. Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan indikasi dokter.

d. Pendidikan kesehatan
Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di rumah.
(Smeltzer. 2001)



H.    KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
a.        Wawancara
Dapatkan riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan pasien mengatasi masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang dideritanya. Berikan perhatian khusus pada keluhan misalnya : keletihan, nyeri pada ekstremitas, berkeringat pada malam hari, kurang nafsu makan, sakit kepala, dan malaise.
b.      Pemeriksaan fisik
·        Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran vena.
·        Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas.
·        Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit.
·        Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe regional.
c.       Pemeriksaan Diagnostik
Radiografi, tomografi, pemindaian tulang, radisotop, atau biopsi tulang bedah, tomografi paru, tes lain untuk diagnosis banding, aspirasi sumsum tulang (sarkoma ewing).(Wong, 2003)
I.       DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
2.      Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan, persepsi tentang proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat
3.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status h
4.      Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran.
J.      RENCANA INTERVENSI
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
·        Tujuan: klien mengalami pengurangan nyeri
·        KH:- Mengikuti aturan farmakologi yang ditentukan
- Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai indikasi situasi individu.
·        Intervensi
- Kaji status nyeri ( lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri )
- Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktivitas hiburan ( misalnya : musik, televisi )
- Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan bimbingan imajinasi.
- Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri.
2. Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan, persepsi tentang proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat.
·        Tujuan : Mendemonstrasikan penggunaan mekanisme koping efektif dan partisipasi aktif dalam aturan pengobatan
·        KH:- Pasien tampak rileks
- Melaporkan berkurangnya ansietas
- Mengungkapkan perasaan mengenai perubahan yang terjadi pada diri klien
·                    Intervensi
- Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.
- Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.
- Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.
- Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis.
3.   Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik berkenaan dengan kanker.
·                 Tujuan: mengalami peningkatan asupan nutrisi yang adekuat
·                 KH:- penambahan berat badan, bebas tanda malnutrisi, nilai albumin dalam batas normal ( 3,5 – 5,5 g% )
·                 intervensi
- Catat asupan makanan setiap hari
- Ukur tinggi, berat badan, ketebalan kulit trisep setiap hari.
- Berikan diet TKTP dan asupan cairan adekuat.
4.   Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran.
·                 Tujuan: mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh, perasaan tidak berdaya, putus asa dan tidak mampu.
·                 KH:- Mulai mengembangkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah secara efektif.
·                 Intervensi:
- Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap kehidupan pribadi pasien dan keluarga.
- Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker atau pengobatan
- Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara dengan menyentuh pasien.



















BAB III
FRAKTUR
A.     Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
B.     Etiologi
·        Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
·        Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
·        Kekerasan akibat tarikan otot
            Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
C.     Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya 
D.     Pathway Fraktur













E.      Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.       Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1.      Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2.      Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.      Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1.      Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2.      Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
·                 Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
·        Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
·           Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c.       Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1.         Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2.         Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3.         Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4.         Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5.      Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

F.      Faktor yang Mempengaruhi Fraktur
- Faktor Ekstrinsik
  Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.


-    Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
G.     Manesfetasi klinis
1.      Deformitas
2.      Bengkak/edema
3.      Echimosis (Memar)
4.      Spasme otot
5.      Nyeri
6.      Kurang/hilang sensasi
7.      Krepitasi
8.      Pergerakan abnormal

H.     Komplikasi Fraktur
a.                   Komplikasi Awal
1.         Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2.         Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3.         Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4.         Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5.         Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6.                  Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b.      Komplikasi Dalam Waktu Lama
1.      Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
2.      Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3.      Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.


I.        Test Diagnostik
1.      Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2.      Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
3.   Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
4.      Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
5.      Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
J.       Penatalaksanaan Medik
a.         Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1.     Pembersihan luka
2.     Exici
3.     Hecting situasi
4.    Antibiotik
b.        Seluruh Fraktur
1.     Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2.     Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran­nya dan rotasfanatomis (brunner, 2001). Reduksi tertutup Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
3.     Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
4.     Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan keti­daknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).

K.    ASUHAN KEPERAWATAN
.    Pengkajian.
1.  Identitas.
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2.         Riwayat Keperawatan.
a.       Keluhan utama.
 Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1.        Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2.        Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3.        Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4.        Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5.         Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

b.   Riwayat penyakit sekarang.
                     Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
c.    Riwayat penyakit dahulu.
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
d.    Riwayat kesehatan keluarga.
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e.    Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam  keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f.     Pola-pola Fungsi Kesehatan
1.    Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
2.        Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
3.        Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
4.        Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 1995).
5.        Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6.        Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).




7.        Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
8.         Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
9.         Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
3.   Pemeriksaan fisik.
a.          Sistem Integumen
b.         Kepala
c.         Leher
d.         Muka
e.         Mata
f.           Telinga
g.         Hidung
h.         Mulut dan Faring
i.           Thoraks
j.           Paru
k.         Jantung
l.           Abdomen
B.    Diagnosa Keperawatan

1.    Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

2.      Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

3.      Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

4.      Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

5.      Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)

6.      Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

7.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

(Doengoes, 2000)

 

 




C.    Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera  jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

         Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individua 
         Intervensi :
           a. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi
   Rasional : Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi
b. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena
 Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri
                   c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
.                        Rasional : Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.

2.    Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera  vaskuler, edema, pembentukan trombus)


            Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
                  Intervensi :
a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera
                         Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi
                    b.  Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
Rasional : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian   keketatan bebat/spalk.

 c.  Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi      adanya sindroma kompartemen.
Rasional :  Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran  alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

                Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
                        Intervensi :
                  a.  Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
                  Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi
                       b.  Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
                       Rasional : Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.
c. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.
  Rasional : Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak

4.         Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi  restriktif (imobilisasi)

              Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas.

               Intervensi :
 a.  Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
                    Rasional : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri,  membantu menurunkan isolasi sosial
                          b.   Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien
                    Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan  tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.               
                         c. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.
Rasional : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.



BAB IV
PENUTUP



·        Tumor adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif dimana sel-selnya tidak pernah menjadi dewasa. Tumor tulang primer merupakan tumor tulang dimana sel tumornya berasal dari sel-sel yang membentuk jaringan tulang, sedangkan tumor tulang sekunder adalah anak sebar tumor ganas organ non tulang yang bermetastasis ke tulang.
·        Tumor tulang adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-sel tersebut tidak pernah menjadi dewasa. Dengan istilah lain yang sering digunakan “Tumor Tulang”, yaitu pertumbuhan abnormal pada tulang yang bisa jinak atau ganas
·        Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.












DAFTAR PUSTAKA

Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC




0 komentar:

Posting Komentar