JULIANUS RATNO
Solmadapar menggelar aksi pada peringatan Hari Pahlawan, Kamis (10/11). Elemen aksi ini mengkritisi kinerja Pemprov Kalbar dan aparat penegak hukum
Seolah tak kenal lelah melakukan kritik. Solmadapar kembali turun ke jalan meminta penegakan hukum. Kalangan fraksi dukung raperda agar kerugian daerah bisa kembali.
PONTIANAK – Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Pengemban Amanat Rakyat (Solmadapar) tak menyia-nyiakan momentum peringatan Hari Pahlawan. Mereka berdemonstrasi mengkritisi kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi dan temuan BPK RI Perwakilan Kalbar, Kamis (10/11).
Kelompok aksi yang dikenal garang dan rajin melakukan kritik ini menganggap Hari Pahlawan telah dinodai tikus-tikus berdasi yang mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Aksi Solmadapar itu dimulai dari Bundaran Untan Pontianak sekitar pukul 09.00. Setelah itu mereka beranjak menuju Kantor Gubernur Kalbar dan selanjutnya menuju Kantor DPRD Kalbar. Aksi yang diikuti belasan mahasiswa ini dikawal ketat aparat kepolisian.
Solmadapar menilai para pimpinan negara, pemimpin daerah, dan elite politik yang ada telah mengkhianati makna Hari Pahlawan. Mereka yang sebelumnya berteriak lantang dalam pemilu hanyalah menuhankan seribu janji ingin menegakkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyatnya.
“Tetapi itu hanya sebuah kebohongan besar tanpa bukti nyata. Banyak di antara mereka yang ingin menjadi pahlawan tetapi menindas bangsanya sendiri. Banyak rakyat Indonesia menangis dengan banyaknya penindasan yang tak sesuai semangat dan cita-cita kemerdekaan,” tegas Anton, orator Solmadapar saat aksi di depan Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (10/11).
Dijelaskan dia, rentetan kasus korupsi di Kalbar bertambah panjang, setelah BPR RI Perwakilan Kalbar menemukan kebocoran anggaran dan aset tak wajar yang kian membengkak jumlahnya.
Solmadapar secara tegas menyatakan Pemprov Kalbar kurang berpihak dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tudingan tersebut diberikan karena dua terpidana kasus baju hansip tetap dipertahankan sebagai pimpinan SKPD.
''Gubernur Kalbar sebagai pemegang kekuasaan seharusnya ikut menjunjung tinggi hukum. Alih-alih mempercepat proses penegakan hukum, memecat mereka yang terpidana saja tidak berani. Menjadi sebuah pertanyaan besar yang harus ditransparansikan,'' kata Anton.
Dia menganggap pemprov seakan tidak mempunyai iktikad baik menyikapi hasil audit BPK-RI Kalbar terhadap temuan aset dan anggaran yang terindikasi mengalami kebocoran hingga mencapai Rp 156 miliar.
Gubernur sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, lanjut Anton, sibuk mencitrakan diri padahal tidak penting ketimbang membenahi bobroknya ruang lingkup kerja SKPD yang merusak sisi moral, intelektualitas, dan jauh dari sikap keadilan.
Solmadapar melakukan kilas balik atas penyalahgunaan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan negara. Mereka menyebut beberapa fakta kasus.
Dalam waktu bersamaan, fraksi-fraksi di DPRD Kalbar melaksanakan paripurna Pemandangan Umum Raperda Penyelesaian Kerugian Daerah yang diusulkan eksekutif. Terlebih lagi dengan temuan BPK atas kerugian daerah yang belum ditindaklanjuti sebanyak 179 kasus, dengan saldo sebesar Rp 156.050.046.632,41 dan USD 11.709.282,89.
“Selama ini adanya Majelis TPTGR apakah sudah berjalan dengan baik dan apakah kinerja TPTGR sudah maksimal. Pertanyaan ini kami sampaikan dengan harapan agar TPKD yang akan dibentuk tidak sekadar formalitas,” tegas juru bicara Fraksi PPP DPRD Kalbar saat menyampaikan Pemandangan Umum (PU) Fraksi-Fraksi dalam paripurna di DPRD Kalbar, Kamis (10/11).
Masalah kerugian daerah selama ini, menurut fraksi berlambang Kakbah ini, ditangani Majelis TPTGR sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997. Maka dengan adanya raperda yang diusulkan ini nantinya masalah kerugian daerah akan diselesaikan oleh TPKD yang dibentuk oleh Gubernur Kalbar. Raperda ini untuk mengakomodasi Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007.
Fraksi PPP menilai, yang terpenting juga adalah efektivitas sistem pengendalian intern yang ada di Pemerintah Provinsi Kalbar. Artinya, apakah tim pengendalian intern itu sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan mengikuti asas pelaporan keuangan yang akuntabel serta ketaatan pada peraturan yang berlaku. Jika tim pengendalian intern andal, maka temuan-temuan tidak akan terjadi, sehingga TKPD pun tidak perlu ada.
Fraksi Partai Golkar mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan pihaknya atas penyelesaian kerugian daerah pada Pemprov Kalbar diketahui per 31 Desember 2010, kerugian daerah yang belum ditindaklanjuti sebanyak 179 kasus, dengan saldo sebesar Rp 156.050.046.632,41 dan USD 11.709.282,89.
Proses penyelesaian kerugian daerah itu menurut Fraksi Golkar belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang penyelesaian kerugian daerah. “Hal itu antara lain disebabkan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah belum optimal dan menindaklanjuti rekomendasi BPK,” ungkap Nehen SPd MM, juru bicara fraksi partai berlambang pohon beringin ini.
Dalam penyelesaian kerugian daerah, pemerintah provinsi masih berpedoman pada Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (TPTGR) Keuangan dan Barang Daerah. Fraksi Golkar menilai, permendagri itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan.
Di lain pihak, BPK RI telah menetapkan peraturan Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap bendahara. “Dengan demikian dalam penyelesaian kerugian daerah terdapat dua sumber hukum, yaitu Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 dan Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007,” kata Nehen saat menyampaikan PU.
Selama ini, dalam penyelesaian kerugian daerah belum sepenuhnya mengacu pada Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 itu. Sehingga diperlukan aturan hukum di tingkat daerah untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam penyelesaian kerugian daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalbar. Fraksi Golkar mengapresiasi sikap pemerintah provinsi yang segera menerbitkan regulasi untuk penyelesaian kerugian daerah.
Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat mendukung Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi, yakni mewujudkan pemerintahan yang baik atau good government dan pemerintahan yang bersih atau clean government. Hal itu perlu didukung dengan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menurut fraksi partai berlambang bintang mercy itu, adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, mengakibatkan kerugian daerah. Untuk menyelesaikan atau menuntaskan kerugian tersebut, perlu adanya payung hukum.
Untuk itu, kata Saiyan, sudah selayaknya pemerintah daerah bersama-sama DPRD Provinsi Kalimantan Barat menetapkan peraturan daerah tentang penyelesaian kerugian daerah, terutama untuk mengatur mekanisme penyelesaian kerugian daerah.
“Fraksi kami mengharapkan setelah raperda tentang penyelesaian kerugian daerah disahkan, gubernur segera membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Daerah atau TPKD. Dan dalam pelaksanaannya TPKD harus proaktif dan tidak tebang pilih dalam menyelesaikan kerugian daerah yang dialami,” kata NCH Saiyan SH MH, juru bicara Fraksi Partai Demokrat. (jul/sul)
0 komentar:
Posting Komentar